A.
Perubahan nama Departemen.
Perubahan pertama adalah perubahan
istilah Manajemen Personalia menjadi Manajemen Pengembangan SDM, dan terakhir
berubah menjadi Human Capital. Alasan perubahan istilah Manajemen Personalia (Personnel
Management / PM) menjadi MSDM (Human Resources Development / HRD
atau Human Resources Management/HRM) adalah PM lebih fokus dan dominan
mengurusi “tetek bengek” administrasi kepegawaian. Pendekatan MSDM lebih
mengedepankan aspek manusia yang dipandang sebagai memiliki aspek stratejik
sebagaimana faktor-faktor produksi lain seperti tanah dan modal. Sedangkan
perubahan menjadi Human Capital muncul bersamaan dengan konsep Modal
Intelektual (Intellectual Capital) yang terdiri dari Human Capital,
Structural Capital dan Relational Capital. Lagi-lagi, pekerja
diangkat derajatnya dan memiliki nilai stratejik seperti structual
dan relational capital yang dimiliki organisasi.
B.
Perubahan Pendekatan.
Perubahan kedua adalah pendekatan
pengelolaan MSDM. Pendekatan “tertua” MSDM adalah berbasis potensi, kemudian
kompetensi (Competency Based Human Resource Management / CBHRM), dan
terakhir berbasis talenta (Talent Management). Pendekatan potensi
mengandalkan tes psikologi yang dalam buku-buku CBHRM disebutkan bahwa tingkat
akurasi pendekatan potensi hanya 30 %. Maksudnya, mereka yang memiliki potensi
baik dan diprediksi akan berhasil di pekerjaannya di masa mendatang, ternyata
tingkat kegagalannya relatif tinggi (70%). CBHRM yang mengandalkan asesmen
kompetensi dipandang lebih menjanjikan, sebab tingkat akurasinya mencapai
kurang lebih 61 %. Kemudian berkembang pendekatan talenta yang menurut para
pakar lebih menjanjikan tingkat keberhasilan pengelolaan SDM.
C.
Perubahan Tingkat Jabatan
Transformasi HR juga bukan sekedar
menaikkan derajat para profesional di bidang SDM. Sebelumnya (dan sampai saat
ini) masih banyak organisasi yang menghargai profesional SDM “hanya” sampai
level manajer dan senior manajer. Di beberapa organisasi ada kecenderungan
untuk meningkatkan derajat profesional SDM sampai level General Manager, Vice
President atau bahkan tingkat Direksi. Sejatinya, perubahan derajat departemen
dan kepangkatan profesional SDM tidak berarti apapun jika yang dikelola masih
hal-hal yang bersifat administratif, tidak ada keterlibatan profesional SDM di
bidang yang stratejik, apalagi kalau kemudian tidak ada kontribusi yang
bernilai stratejik terhadap pencapaian sasaran organisasi.
Meskipun ada
beberapa perubahan istilah, istilah lama tidak hilang dan masih digunakan. Ada
organisasi yang merasa tidak perlu mengubah istilah manajemen personalia
menjadi MSDM dan Human Capital, sebab yang lebih penting adalah filosofi yang
mendasari pengelolaan SDM. Demikian juga, ketika ada organisasi yang tertarik
mengelola SDM dengan pendekatan talenta, masih banyak organisasi yang sudah
cukup puas dengan hasil pengelolaan SDM mengandalkan pendekatan kompetensi.
Bahkan, masih banyak organisasi yang belum mengetahui sudah ada pendekatan
kompetensi dan talenta, dan karena itu masih mengadalkan pendekatan potensi,
tetapi pengelolaan SDM toh tetap berjalan normal dan baik-baik saja.
Pada
dasarnya, apapun istilah dan pendekatan yang digunakan, bukan merupakan inti
dari pengelolaan SDM. Saya pribadi cenderung melihat perubahan-perubahan
istilah tersebut tidak lebih dari sekedar latah dan mengikuti apa yang terjadi
di luar negeri. Dalam hal manajemen, ada kecenderungan orang-orang pintar dan
praktisi manajemen lebih puas menjadi “pemulung”. Hampir tidak ada teori-teori
manajemen yang lahir di bumi pertiwi dan merupakan kreasi dari orang-orang
pintar dan praktisi manajemen di Indonesia.
D.
Pendekatan Berawal di Akhir dan berakhir di Awal.
Saya mengetahui pendekatan / prinsip
berawal di akhir dan beakhir di awal dari B.J. Habibie semasa menjabat
Menteri Riset dan Teknologi. Habibie menggunakan pendekatan itu dalam
hubungannya dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk Indonesia.
Aplikasi pendekatan ini seperti yang dijelaskan dalam www.blog-indonesia.com (dikutip tanggal 7 Maret 2011)
“Alih-alih memulai dengan riset-riset ilmu-ilmu murni, BJ Habibie memilih
penerapan iptek dengan membangun industri berbasis iptek terlebih dahulu, baru
kemudian industri itu akan diperkuat dengan riset-riset ilmu-ilmu dasar dan
terapan yang mendasari industri tersebut.”
Saya
menggunakan pendekatan berawal di akhir dan beakhir di awal dalam konteks dan
pengertian berbeda. Manajemen “konvensional” mengajarkan “Model IPO” (input-process-output).
Dalam model IPO, output ditentukan oleh input dan process.
Tidak ada yang salah dengan model IPO, tetapi untuk kepentingan perubahan dan continuous
improvement, juga tidak haram kalau mencoba “thinking out of the box”.
Dengan pendekatan berawal di akhir dan beakhir di awal, justru output
yang akan menentukan process. Output memang tidak bisa
mempengaruhi input, tetapi output bisa “mendikte” process.
Dalam
konteks Manajemen SDM, output (baca : kontribusi atau nilai tambah) yang
diharapkan adalah kesiapan SDM (human capital readiness). Parameter
kesiapan adalah job fit, organizational fit, dan cultural fit.
Artinya, SDM dikatakan job fit apabila memiliki success profile
(Development Dimensions International mendifinisikan success profile
“………holistically capture the requirements of job success – what
knowledge, experience, competencies, and personal attributes are critical to
drive business strategy in a job, job level, or function.”) yang dituntut oleh
pekerjaannya. Organizational fit berarti success profile SDM
harus sesuai dengan kebutuhan organisasi (business context). Sedangkan cultural
fit menunjukkan bahwak kesiapan SDM sesuai dengan nilai-nilai yang
melandasi tata kelola organisasi (corporate governance).
Output (kontribusi dan nilai tambah) yang
dihasilkan menentukan proses inti apa saja yang harus dilakukan. Proses inti
manajemen SDM rekruitmen dan seleksi, manajemen penilaian kinerja, manajemen
penggajian dan manajemen pelatihan dan pengembangan SDM secara bersama-sama
harus memberikan kontribusi terhadap pencapaian kesiapan SDM. Apapun pendekatan
dan metode yang dipilih untuk mengelola proses-proses inti Manajemen SDM bukan
fokus utama, melainkan output dari masing-masing proses inti manajemen
SDM harus mendukung pencapaian output utama berupa kesiapan SDM
organisasi.
Untuk
memudahkan memahami “Model IOP” (input-output-process) atau pendekatan
berawal di akhir dan beakhri di awal, saya berikan contoh yang sederhana.
Misalnya Direktur Utama saat ini sedang berada di Surabaya dan anda (saat ini
berada di Jakarta) diperintahkan menemui Direktur Utama dalam waktu 3 jam
sudah di Surabaya. Menemui Direktur Utama dalam waktu 3 jam adalah
output yang harus dicapai. Proses (how to) anda dari Jakarta ke
Surabaya ditentukan oleh output, bukan proses yang menentukan output.
E.
Pandangan Tentang HR dari Dave Ulrich
Dave Ulrich, seorang HR Guru,
“mengeluh” bahwa saat ini fokus para profesional HR cenderung pada proses dari
pada output. Ulrich mengatakan bahwa “our point is that HR
professionals often focus internally on the function of HR rather than
externally on what customers and investors need HR to deliver. If HR
professionals are to truly serve as business partners, then their goals must be
the goals of the business.” (Dave Ulrich et.al, 2009)
Ulrich
mendesak para profesional untuk mengubah mindset dan pendekatan
mengelola SDM. Menurut Ulrich “Our point is that HR should begin from the
outside in. We should be at least as worried about the outcomes of our
activities as about the activities themselves.” (Dave Ulrich et.al., 2009).
Dalam
konteks pengelolaan SDM, saat ini departemen SDM seperti sebuah kepulauan
tersendiri yang seolah-olah tidak terkait dengan konteks bisnis (business
context), antara lain globalisasi, teknologi, karyawan, pelanggan di dalam
dan di luar organisasi, investor, dan kompetitor. Konteks bisnis tersebut
menjadi tantangan bagi organisasi. Masih ada Departemen SDM yang cenderung
menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas rutin yang menghasilkan kontribusi
tidak seperti yang menjadi harapan para pemangku kepentingan. Tanpa memahami
konteks bisnis dan tantangan yang dihadapi oleh organisasi, maka Departemen SDM
hanya menjalankan program-program yang tidak jelas manfaatnya bagi pencapaian
sasaran organisasi. Transformasi HR menuntut para profesional HR untuk memahami
konteks bisnis dan tantangan yang dihadapi organisasi dan menterjemahkan ke
dalam program-program yang mampu memberikan nilai tambah yang dibutuhkan
organisasi.
Ulrich
(2009) menyarankan untuk para profesional HR untuk menetapkan HR Strategy
Statement yang berisi pernyataan yang menjawab tiga pertanyaan penting sebagai
berikut :
Who are you?
(vision).
What do you
deliver? (mission or value propostion)
Why do you
do it? (the results HR wants to achieve)
Setiap
organisasi memiliki misi, visi, nilai-nilai, sasaran dan strategi untuk
mencapai sasaran. Program-program dan aktivitas-aktivitas dilakukan untuk
mencapai sasaran. Logika yang sama berlaku bagi Departemen SDM, bahwa misi,
visi, nilai-nilai, sasaran dan strategi mendahului program-program dan
aktivitas aktivitas yang akan dilakukan.