Selasa, 21 April 2015

Perubahan HRD menjadi HC


A.    Perubahan nama Departemen.
            Perubahan pertama adalah perubahan istilah Manajemen Personalia menjadi Manajemen Pengembangan SDM, dan terakhir berubah menjadi Human Capital. Alasan perubahan istilah Manajemen Personalia (Personnel Management / PM) menjadi MSDM (Human Resources Development / HRD atau Human Resources Management/HRM) adalah PM lebih fokus dan dominan mengurusi “tetek bengek” administrasi kepegawaian. Pendekatan MSDM lebih mengedepankan aspek manusia yang dipandang sebagai memiliki aspek stratejik sebagaimana faktor-faktor produksi lain seperti tanah dan modal. Sedangkan perubahan menjadi Human Capital muncul bersamaan dengan konsep Modal Intelektual (Intellectual Capital) yang terdiri dari Human Capital, Structural Capital dan Relational Capital. Lagi-lagi, pekerja diangkat derajatnya dan memiliki nilai stratejik seperti  structual dan relational capital yang dimiliki organisasi.
B.     Perubahan Pendekatan.
            Perubahan kedua adalah pendekatan pengelolaan MSDM. Pendekatan “tertua” MSDM adalah berbasis potensi, kemudian kompetensi (Competency Based Human Resource Management / CBHRM), dan terakhir berbasis talenta (Talent Management). Pendekatan potensi mengandalkan tes psikologi yang dalam buku-buku CBHRM disebutkan bahwa tingkat akurasi pendekatan potensi hanya 30 %. Maksudnya, mereka yang memiliki potensi baik dan diprediksi akan berhasil di pekerjaannya di masa mendatang, ternyata tingkat kegagalannya relatif tinggi (70%). CBHRM yang mengandalkan asesmen kompetensi dipandang lebih menjanjikan, sebab tingkat akurasinya mencapai kurang lebih 61 %. Kemudian berkembang pendekatan talenta yang menurut para pakar lebih menjanjikan tingkat keberhasilan pengelolaan SDM.
C.    Perubahan Tingkat Jabatan
            Transformasi HR juga bukan sekedar menaikkan derajat para profesional di bidang SDM. Sebelumnya (dan sampai saat ini) masih banyak organisasi yang menghargai profesional SDM “hanya” sampai level manajer dan senior manajer. Di beberapa organisasi ada kecenderungan untuk meningkatkan derajat profesional SDM sampai level General Manager, Vice President atau bahkan tingkat Direksi. Sejatinya, perubahan derajat departemen dan kepangkatan profesional SDM tidak berarti apapun jika yang dikelola masih hal-hal yang bersifat administratif, tidak ada keterlibatan profesional SDM di bidang yang stratejik, apalagi kalau kemudian tidak ada kontribusi yang bernilai stratejik terhadap pencapaian sasaran organisasi.
Meskipun ada beberapa perubahan istilah, istilah lama tidak hilang dan masih digunakan. Ada organisasi yang merasa tidak perlu mengubah istilah manajemen personalia menjadi MSDM dan Human Capital, sebab yang lebih penting adalah filosofi yang mendasari pengelolaan SDM. Demikian juga, ketika ada organisasi yang tertarik mengelola SDM dengan pendekatan talenta, masih banyak organisasi yang sudah cukup puas dengan hasil pengelolaan SDM mengandalkan pendekatan kompetensi. Bahkan, masih banyak organisasi yang belum mengetahui sudah ada pendekatan kompetensi dan talenta, dan karena itu masih mengadalkan pendekatan potensi, tetapi pengelolaan SDM toh tetap berjalan normal dan baik-baik saja.
Pada dasarnya, apapun istilah dan pendekatan yang digunakan, bukan merupakan inti dari pengelolaan SDM. Saya pribadi cenderung melihat perubahan-perubahan istilah tersebut tidak lebih dari sekedar latah dan mengikuti apa yang terjadi di luar negeri. Dalam hal manajemen, ada kecenderungan orang-orang pintar dan praktisi manajemen lebih puas menjadi “pemulung”. Hampir tidak ada teori-teori manajemen yang lahir di bumi pertiwi dan merupakan kreasi dari orang-orang pintar dan praktisi manajemen di Indonesia.
D.    Pendekatan Berawal di Akhir dan berakhir di Awal.
            Saya mengetahui pendekatan / prinsip  berawal di akhir dan beakhir di awal dari B.J. Habibie semasa menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Habibie menggunakan pendekatan itu dalam hubungannya dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk Indonesia. Aplikasi pendekatan ini seperti yang dijelaskan dalam www.blog-indonesia.com (dikutip tanggal 7 Maret 2011) “Alih-alih memulai dengan riset-riset ilmu-ilmu murni, BJ Habibie memilih penerapan iptek dengan membangun industri berbasis iptek terlebih dahulu, baru kemudian industri itu akan diperkuat dengan riset-riset ilmu-ilmu dasar dan terapan yang mendasari industri tersebut.”
Saya menggunakan pendekatan berawal di akhir dan beakhir di awal dalam konteks dan pengertian berbeda. Manajemen “konvensional” mengajarkan “Model IPO” (input-process-output). Dalam model IPO, output ditentukan oleh input dan process. Tidak ada yang salah dengan model IPO, tetapi untuk kepentingan perubahan dan continuous improvement, juga tidak haram kalau mencoba “thinking out of the box”. Dengan pendekatan berawal di akhir dan beakhir di awal, justru output yang akan menentukan process. Output memang tidak bisa mempengaruhi input, tetapi output bisa “mendikte” process.
Dalam konteks Manajemen SDM, output (baca : kontribusi atau nilai tambah) yang diharapkan adalah kesiapan SDM (human capital readiness). Parameter kesiapan adalah job fit, organizational fit, dan cultural fit. Artinya, SDM dikatakan job fit apabila memiliki success profile (Development Dimensions International mendifinisikan success profile “………holistically capture the requirements of job success – what knowledge, experience, competencies, and personal attributes are critical to drive business strategy in a job, job level, or function.”) yang dituntut oleh pekerjaannya. Organizational fit berarti success profile SDM harus sesuai dengan kebutuhan organisasi (business context). Sedangkan cultural fit menunjukkan bahwak kesiapan SDM sesuai dengan nilai-nilai yang melandasi tata kelola organisasi (corporate governance).
Output (kontribusi dan nilai tambah) yang dihasilkan menentukan proses inti apa saja yang harus dilakukan. Proses inti manajemen SDM rekruitmen dan seleksi, manajemen penilaian kinerja, manajemen penggajian dan manajemen pelatihan dan pengembangan SDM secara bersama-sama harus memberikan kontribusi terhadap pencapaian kesiapan SDM. Apapun pendekatan dan metode yang dipilih untuk mengelola proses-proses inti Manajemen SDM bukan fokus utama, melainkan output dari masing-masing proses inti manajemen SDM harus mendukung pencapaian output utama berupa kesiapan SDM organisasi.
Untuk memudahkan memahami “Model IOP” (input-output-process) atau pendekatan berawal di akhir dan beakhri di awal, saya berikan contoh yang sederhana. Misalnya Direktur Utama saat ini sedang berada di Surabaya dan anda (saat ini berada di Jakarta) diperintahkan menemui Direktur Utama dalam waktu 3 jam sudah di Surabaya. Menemui Direktur Utama dalam waktu 3 jam adalah output yang harus dicapai. Proses (how to) anda dari Jakarta ke Surabaya ditentukan oleh output, bukan proses yang menentukan output.
E.     Pandangan Tentang HR dari Dave Ulrich
            Dave Ulrich, seorang HR Guru, “mengeluh” bahwa saat ini fokus para profesional HR cenderung pada proses dari pada output. Ulrich mengatakan bahwa “our point is that HR professionals often focus internally on the function of HR rather than externally on what customers and investors need HR to deliver. If HR professionals are to truly serve as business partners, then their goals must be the goals of the business.” (Dave Ulrich et.al, 2009)
Ulrich mendesak para profesional untuk mengubah mindset dan pendekatan mengelola SDM. Menurut Ulrich “Our point is that HR should begin from the outside in. We should be at least as worried about the outcomes of our activities as about the activities themselves.” (Dave Ulrich et.al., 2009).
Dalam konteks pengelolaan SDM, saat ini departemen SDM seperti sebuah kepulauan tersendiri yang seolah-olah tidak terkait dengan konteks bisnis (business context), antara lain globalisasi, teknologi, karyawan, pelanggan di dalam dan di luar organisasi, investor, dan kompetitor. Konteks bisnis tersebut menjadi tantangan bagi organisasi. Masih ada Departemen SDM yang cenderung menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas rutin yang menghasilkan kontribusi tidak seperti yang menjadi harapan para pemangku kepentingan. Tanpa memahami konteks bisnis dan tantangan yang dihadapi oleh organisasi, maka Departemen SDM hanya menjalankan program-program yang tidak jelas manfaatnya bagi pencapaian sasaran organisasi. Transformasi HR menuntut para profesional HR untuk memahami konteks bisnis dan tantangan yang dihadapi organisasi dan menterjemahkan ke dalam program-program yang mampu memberikan nilai tambah yang dibutuhkan organisasi.
Ulrich (2009) menyarankan untuk para profesional HR untuk menetapkan HR Strategy Statement yang berisi pernyataan yang menjawab tiga pertanyaan penting sebagai berikut :
Who are you? (vision).
What do you deliver? (mission or value propostion)
Why do you do it? (the results HR wants to achieve)
Setiap organisasi memiliki misi, visi, nilai-nilai, sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran. Program-program dan aktivitas-aktivitas dilakukan untuk mencapai sasaran. Logika yang sama berlaku bagi Departemen SDM, bahwa misi, visi, nilai-nilai, sasaran dan strategi mendahului program-program dan aktivitas aktivitas yang akan dilakukan.

1 komentar: